!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Monday, August 18, 2014

Perjalanan yang belum selesai (14)

Perjalanan yang belum selesai (14)

(Bagian keempat belas, Depok.Jawa Barat, Indonesia,19 Agustus 2014, 07.03 WIB)


Banyak cara Media massa mensiati agar mereka tetap survive di tengah semakin sengitnya persingan, terutama media cetak menginggat biaya produksi mereka terus melambung seperti tenaga manusia dan harga kertas.
Sehingga banyak diantara media cetak , baik harian (Koran), atau majalah yang untuk menghemat biaya beralih ke media online digital, ini bukan saja dialami media massa di Indonesia, namun juga dialami media sekaliber Newsweek yang pernah beralih ke media digital, walau ini kabarnya kembali me-relaunching kembali edisi cetaknya.

Harian Media Indonesia sekitar tahun 1992 lalu ketika masih berkantor di Jalan Gondangdia Lama, Jakarta Pusat ketika itu harian ini sangat kekurangan pemasang iklan sehingga mengalami kesulitan keuangan.

 Untuk mengatasinya Surya Paloh pernah mengundang Sudono Salim untuk membantu Media Indonesia, entah dalam bentuk investasi atau manajemen. Tapi yang jelas Sudono Salim pernah mengirim tim hingga 20 orang untuk membantu manajemen Media Indonesia. Saya tidak tahu apakah Sudono Salim sudah mengucurkan dana hanya Sudono Salim dan Anthony Salim yang tahu.

Pada masa ini (1990) ada pengusaha nasional yang tergiur dengan kesuksesan beberapa media meraih untung. Diantaranya pengusaha batik Soetrisno Bachir mantan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) dia terjun membeli Majalah Ekonomi PROSPEK dan Harian Berita Buana.

Khusus Majalah Prospek, dia membajak puluhan wartawan Tempo dari Junior sampai senior seperti Praginanto.

Semula Praginanto dipersiapkan menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Prospek, namun setelah berbulan-bulan persiapan, Praginanto gagal menjadi Pemimpin Redaksi, malah digantikan Bachtiar Abdullah dengan Bachrul Alam jadi Redaktur Pelaksana.
Ada kabar Bachtiar Abdullah dan Bachrul Alam melaporkan ke Soetrisno Bachir kalau Praginanto gemar mabuk-mabukan, sehingga Porspek tidak terbit-terbit.

‘’Yang jelas saya di kudeta Bachtiar Abdullah dan Bachrul Alam, padahal Bachrul Alam itu sahabat saya satu asrama di Universitas Indonesia (UI), namun teganya dia menusuk dari belakang,’’ komentar Praginanto, suatu hari.

Praginanto yang ketika menjadi wartawan TEMPO terkenal karena berhasil mewawancarai Yaser Arafat, Pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Namun, kabarnya kebiasaan Fikri Jupri, wartawan senior Tempo minum wine menular ke Praginanto (dia jadi alcoholic yang kadang memabukkan).

Itulah setelah Prospek Tutup, bangkrut saya sempat pindah menjadi Redaktur Internasional di Harian Media Indonesia menggantikan Praginanto. Yang kata, Debra Yatim, waktu itu Redaktur Aksen Praginanto menelantarkan halaman Internasional karena kebiasaan minum alkohol itu.

Pada masa ini seperti Soetrisno Bachir banyak pengusaha yang terjun ke media, majalah seperti Panji Masyarakat dikelola manajemen baru antara lain dikelola wartawan senior Tempo Syubah Asa. Namun seperi juga Majalah Prospek, dan Harian Berita Buana gagal berkembang dan tutup seperti juga Majalah terkenal Forum Keadilan dan banyak Majalah dan Harian seperti Harian Merdeka , Koran Bahasa Inggris pertama the Indonesia Times, Indonesian Observer, Harian Sinar pagi dan ratusan media cetak lainnya.





Lanskap Industri Media Massa Arus Utama dan Media Online
Sebelum jauh berbicara mengenai peta industri media massa arus utama di Indonesia, karena saya berbicara dalam forum ilmiah yang dihelat di Kalimantan Timur pada hari ini; maka terlebih dahulu saya akan mencoba meneropong terlebih dahulu bagaimana peta industri media massa (khususnya media cetak) di Kalimantan Timur. Berdasarkan data Serikat Perusahaan Pers (SPS) 2013, di Provinsi Kalimantan Timur beredar 234.000 eksemplar media cetak (peringkat ke-14 dari 33 provinsi di Indonesia) terdiri atas 12 surat kabar harian (beroplah 226.000 eksemplar), empat majalah (beroplah 6.000 eksemplar), dan dua tabloid (beroplah 2.000 eksemplar). Provinsi dengan jumlah oplah media cetak terbesar masih diduduki oleh DKI Jakarta sebanyak 14.982.945 eksemplar, kemudian disusul oleh Jawa Timur sebanyak 1.651.000 eksemplar, Jawa Tengah sebanyak 811.550 eksemplar. Faktanya, sebaran media cetak di luar Jawa (apalagi yang ke arah timur) semakin mengecil.
Hal ini menunjukkan bahwa daya baca masyarakat terhadap media cetak (khususnya) masih rendah. Jika diakumulasikan, total oplah seluruh media cetak (koran harian, koran mingguan, majalah, dan tabloid) sebanyak 23.060.155 eksemplar. Padahal jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 240.000.000 jiwa. Jika diasumsikan setiap eksemplar media cetak dibaca oleh empat orang, maka penetrasi media cetak di Indonesia diasumsikan setinggi 38,4 persen. Meskipun faktanya, masih jauh dari angka tersebut.
Namun sejatinya (asal muasal kata sejati diturunkan dari falsafah pohon jati), seluruh ceruk industri media massa di Indonesia hingga saat ini (baca: makalah ini saya ketik pada 17 Februari 2014, pukul 13.53 WIB) hanya dikuasai oleh 14 grup korporasi swasta raksasa. Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings (Lippo Group), Media Group, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media serta Media Bali Post Group (KMB), dan Cipta Prima Pariwara (CPP) Radionet. Konsentrasi kepemilikan industri media terjadi sebagai konsekuensi logis yang tak dapat terelakkan dari kepentingan para pemilik modal dalam mendorong perkembangan industri media di Indonesia (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012; Lim, 2012).
Anda mau buktinya? Berikut ini saya tampilkan bagaimana jaringan dari 14 korporasi penghegemoni industri media massa di Indonesia tersebut. Di bidang media radio, lanskap/peta kepemilikan media radio di Indonesia hanya dikuasai oleh: Kompas Gramedia Group (16 stasiun radio: Sonora Jakarta, Sonora Surabaya, Sonora Yogyakarta, Sonora Pangkalpinang, Sonora Pontianak, Sonora Palembang, Sonora Bandung, Sonora Bandung, Sonora Bangka, Sonora Solo, Sonora Banjarmasin, Sonora Purwokerto, Sonora Cirebon, Sonora Aceh/Serambi FM, Eltira FM, Motion FM); Global Mediacomm/MNC Group (22 stasiun radio: Global Radio, V Radio, Sindo Radio Network Jakarta, Sindo Radio Surabaya, Sindo Radio Medan, Sindo Radio Madiun, Sindo Radio Palembang, Sindo Radio Lubuk Linggau, Sindo Radio Prabumulih, Sindo Radio Lahat, Sindo Radio Kendari, Sindo Radio Dumai, Sindo Radio Pekanbaru, Sindo Radio Pontianak, Sindo Radio Manado, Sindo Radio Banjarmasin, Sindo Radio Bandung, Sindo Radio Semarang, Sindo Radio Yogyakarta, Sindo Radio Makassar, Sindo Radio Baturaja, Radio Dangdut Indonesia), Mahaka Media Group (19 stasiun radio: Jak FM, Gen FM, Prambors Jakarta, Prambors Bandung, Prambors Yogyakarta, Prambors Semarang, Prambors Surabaya, Prambors Medan, Prambors Solo, Prambors Makassar, Female Radio Jakarta, Female Radio Yogyakarta, Female Radio Semarang, Delta FM Jakarta, Delta FM Surabaya, Delta FM Bandung, Delta FM Makassar, Delta FM Manado, Delta FM Medan); MRA Media Group (11 stasiun radio: Cosmopolitan FM, Hard Rock FM Jakarta, Hard Rock FM Bandung, Hard Rock FM Surabaya, Hard Rock FM Bali, Trax FM Jakarta, Trax FM Semarang, I Radio Jakarta, I Radio Bandung, I Radio Yogyakarta, Brava Radio); CPP Radionet (40 stasiun radio: 87,95 RIA FM, 106,85 PAS FM, PAS FM, RCT FM, POP FM, Radiks, 101,6 FM Damashinta, 918 Chandra AM, RKB, RKS, 106,5 Anita FM, Satria, Pro 2 FM, SBS, Sendangmas, Bayusakti, Wijaya, SKB, 774 Bimasakti AM, Irama, Yasika FM, Mandala, 98,8 Candisewu FM, 1098 GIS AM, SAS FM, JPI FM, Konservatori, Permata, Zenith, Suara, RPK, 945 Buana AM, Polaris FM, RWB, 792 CBS AM, GSM FM, Suara, Kartini, 1314 Bintoro AM); PT Tempo Inti Media(1 stasiun radio: KBR 68 H); Femina Group (2 stasiun radio: U FM Jakarta, U FM Bandung).
Jaringan konglomerasi media televisi di Indonesia didominasi oleh: Global Mediacomm/MNS Group (3 stasiun TV nasional: RCTI, MNCTV, Global TV; 14 stasiun TV lokal: Deli TV Medan, Lampung TV Bandar Lampung, Minang TV Padang, YTV Batam, Indonesian Music TV Bandung, Pro TV Semarang, BMS TV Banyumas, MHTV Surabaya, Kapuas Citra Televisi Pontianak, BMC TV Denpasar, SUN TV Makassar, MGTV Magelang, SKY TV Palembang, TAZ TV Tasikmalaya; 3 stasiun TV berbayar: Indovision, Okevision, Top TV); Elang Mahkota Teknologi/EMTEK (2 stasiun TV nasional: ANTV, Indosiar; dan 1 stasiun TV lokal yakni O-Channel); Visi Media Asia ( 2 stasiun TV nasional yaitu ANTV dan TV One); Mahaka Media (2 stasiun TV lokal yakni Jak TV dan Alif TV); CT Group (2 stasiun TV nasional yaitu Trans TV dan Trans 7); Jawa Pos Group (21 stasiun TV lokal: JTV Surabaya, Batam TV, Riau TV, Padang TV, Fajar TV, Pal TV Palembang, Padjadjaran TV/PJTV Bandung, Radar TV Lampung, Jambi TV, Bogor TV, Malioboro TV, Jak TV Jakarta, CB Channel Bogor, SBO TV Surabaya, Balikpapan TV, Triarga TV Bukit Tinggi, Pontianak TV, Simpanglima TV, Banjarmasin TV, Samarinda TV, Radar Cirebon TV); PT Tempo Inti Media (1 stasiun TV lokal yakni Tempo TV); Media Group (1 stasiun TV nasional yakni Metro TV); Berita Satu Media Holding ( 1 stasiun TV lokal: beritasatu TV, dan 1 stasiun TV berbayar yaitu First Media); Kompas Gramedia Group (10 stasiun TV lokal: Kompas TV, Kompas TV Medan, Kompas TV Palengbang, Kompas TV Bandung, Kompas TV Semarang, Kompas TV Surabaya, Kompas TV Yogyakarta, Kompas TV Denpasar, Kompas TV Banjarmasin, Kompas TV Makassar).
Para konglomerasi media cetak di Indonesia saat ini dipegang oleh: Kompas Gramedia Group (27 surat kabar: Kompas, The Jakarta Post, Serambi Indonesia, Pos Kupang, Bangka Pos, Banjarmasin Post, Sriwijaya Post, Harian Surya, Kontan, Metro Banjar, Pos Belitung, Prohaba, Flores Star, Warta Jateng, Tribun Pontianak, Tribun Jambi, Tribun Pekanbaru, Tribun Jogja, Tribun Timur, Tribun Kaltim, Tribun Jakarta, Tribun Batam, Tribun Jabar, Tribun Lampung, Tribun Manado, Tribun Medan; 45 majalah: Hai, Kawanku, Otomotif, Chic, Nakita, Bobo, Intisari, Idea, Renovasi, Ide Bisnis, Flona, Garden, Angkasa, Hot Game, Forsel, Soccer, Sinyal, Saji, Sedap, Sekar, Bobo Junior, Mombi, XY Kids, Ori, Disney Me, Bona, Motor, Car and Tuning Guide, Auto Expert, Scooteriz, Otoplus, Chip, Foto-Video, Hi-Fi Choice, PC Plus, Motor Plus, Bikers, B2, Info Komputer, Commando, Reload, Ride Bike, Rumah; 2 tabloid yakni Nova dan Star Nova; 17 Majalah berlisensi: National Geographic, Top Gear, Autobild, Jip, Disney Junior, NG Traveler, Fortune, Living, More, In Style, Prevention, Girls, Donal Bebek, Barbie, National Geographic Kids, Jalan Sesama); Global Mediacomm/MNC Group (1 surat kabar: Koran Sindo; 4 majalah: High EndMag, High End Teen Mag, Trust, Just for Kids Magazine; 2 tabloid: Genie, Mom & Kiddie); Mahaka Media Group (2 surat kabar: Harian Republika dan Harian Indonesia; 2 majalah: Golf Digest Indonesia, Parents Indonesia; 1 tabloid yakni Tabloid Janna); Jawa Pos Group (133 surat kabar: Memorandum, Radar Bandung, Radar Cirebon, Radar Tasikmalaya, Radar Bogor, Pasunda Ekspres, Radar Karawang, Bandung Ekspres, Karawang Eskpress, Radar Sukabumi, Radar Indramayu, Radar Kuningan, Radar Majalengka, Radar Bekasi, Radar Semarang, Radar Solo, Jateng Pos-Jogjakarta Post, Radar Tegal, Radar Banyumas, Radar Kudus, Radar Pekalongan, Magelang Ekspress, Radar Jogja, Radar Bali, Metro Bali, Lombok Post, Timur Ekspres, Indopos, Rakyat Merdeka, Lampu Hijau, Non Stop, Guo Ji Ri Bao, Indonesia Bisnis Today, Radar Banten, Banten Raya Pos, Tangsel Pos, Satelit News, Banten Pos, Rakyat Aceh, Metro Aceh, Sumut Pos, Pos Metro Medan, Metro Siantar, Metro Asahan, Metro Tapanuli, Padang Ekspress, Pos Metro Padang, Rakyat Sumbar Utara, Riau Pos, Pekanbaru Pos, Pekanbaru Mx, Dumai Pos, Metro Tabagsel, Batam Pos, Pos Metro Batam, Tanjungpinang Pos, Sumatra Ekpress, Palembang Pos, Radar Palembang, Linggau Pos, Prabumulih Pos, Cau Ekspress, Cau Timur Pos, Lahat Pos, Harian Banyuasin, Palembang Ekspress, Enim Ekspress, Ogan Ekspress, Jambi Independent, Jambi Ekspress, Posmetro Jambi, Bungo Pos, Radar Tanjab, Sarolangun Ekspress, Jambi Star, Kerinci Pos, Radar Sarko, Radar Kerinci, RadarBute, Rakyat Bengkulu, Bengkulu Ekspress, Radar Selatan, Radar Pat Petulai, Bangka Belitung Pos, Radar Lampung, Rakyat Lampung, Radar Metro, Radar Lampung Tengah, Radar Lampung Barat, Radar Lampung Selatan, Radar Tanggamus, Radar Kotabumi, Radar Tuba, Kaltim Post, Samarinda Pos, Metro Balikpapan, Radar Tarakan, Pontianak Pos, Harian Equator, Metro Pontianak, Kapuas Pos, Kun Dian Ri Bao, Metro Singkawang, Metro Ketapang, Kalteng Pos, Radar Sampit, Radar Banjarmasin, Fajar, Berita Kota, Pane Pos, Palopo Pos, Ujungpandang Ekspress, Radar Bulukumba, Radar Bone, Radar Sinjai, Radar Sulbar, Radar Sulteng, Luwuk Pos, Kendari Pos, Kendari Ekspress, Radar Buton, Radar Kolaka, Manado Pos, Posko Manado, Radar Manado, Radar Kotabunan, Ambon Ekspress, Radar Ambon, Malut Post, Gorontalo Pos, Radar Gorontalo, Cendrwasih Pos, Radar Timika; 6 tabloid: Otomodify, Agrobis Burung, Omeg, Mentari Putra Harapan, Lowongan Kerja,Haji). Grup raksasa lainnya adalah PT Tempo Inti Media (1 surat kabar: Koran Tempo; 2 majalah: Majalah Tempo dan U-Magazine); Media Group (3 surat kabar: Media Indonesia, Lampung Post, Borneo Post); MRA Media Group (16 majalah berlisensi: Cosmopolitan, Cosmo Girl, Harper’s Bzzr, Amica, Good Housekeeping, Mother & Baby, Spice, Hair Ideas, Auto Car, Target Car, Esquire, Trax, FHM, Fitness, Bravacasa, Bali&Beyond); Berita Satu Media Holdings (4 surat kabar: Suara Pembaruan, Investor Daily, The Jakarta Globe, The Strait Times; 6 majalah: Investor, Globe Asia, The Peak, Kemang Buzz, Campus, Student Globe). Di samping itu ada juga Femina Group (6 majalah: Gadis, Cita Cinta, Femina, Pesona, Dewi, Ayahbunda; 8 majalah berlisensi: Cleo, Parenting, Fit, Men’s Health, Reader’s Digest, Grazia, Best Life, Estetica) dan juga kelompok Media Balipost (Bali Post, Bisnis Bali, Denpasar Post, Bisnis Jakarta, Tokoh, Wiyata Mandala, Lintang, Bali Travel News (Nugroho, Putri, dan Laksmi, 2012; Lim, 2012). Bagaimana cara kerja para taipan media massa dalam merebut audiens (pasar)? Jawabannya sederhana saja. Mereka melakukan berbagai cara. Namun dari beragam cara itu, hanya bisa dilakukan dengan tiga modus.
Satu, konten-konten yang disajikan oleh berbagai perusahaan media massa disesuaikan dengan selera pasar atau jumlah terbesar dari audiens potensial. Cara ini memang dilancarkan untuk mendapatkan perhatian dari pembaca, pemirsa, dan pendengar (audiens) dalam jumlah besar. Harapannya, dengan mendapatkan audiens yang besar, maka tiras (untuk media cetak), ataupun rating (untuk media televisi dan radio), maupun traffict (untuk media online) dari perusahaan media massa menjadi tinggi.
Harapannya, dengan semakin tiggi jumlah tiras, rating, dan traffict-nya, tarif/harga iklan di media massa tersebut menjadi tinggi juga. Bagi perusahaan media cetak, seiring dengan tingginya tiras akan mendapatkan keuntungan ganda. Pertama, tingginya tiras menunjukkan peluang atau tingkat keterbacaan (readership) semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat keterbacaan, menjadi parameter kepopularitasan dari setiap perusahaan media cetak. Kedua, keuntungan dalam bentuk pendapatan tiras (sirkulasi) atau dari media cetak yang terjual di pasar. Ketiga, perusahaan media mendapatkan pemasukan iklan yang tinggi juga; sebab selama ini para pengiklan hanya “tunduk” pada tinggi atau rendahnya jumlah pembaca dari media cetak.
Dua, melakukan integrasi horisontal. Langkah ini merupakan strategi paling fundamental untuk menguatkan jaringan bisnis media cetak, media televisi, media radio, dan media online. Sebuah grup perusahaan media melakukan integrasi horisontal manakala mereka melebarkan sayap bisnis media untuk mendirikan perusahaan media baru di suatu daerah. Contoh sederhana, grup Kelompok Kompas Gramedia menerbitkan Tribun Jateng dan Tribun Jogja.
Tiga, integrasi vertikal. Di mana perusahaan media massa melakukan ekspansi bisnis mereka ke bidang bisnis non media. Contoh mudah, CT Group mendirikan Carefour, hotel, dan bisnis non media lainnya. Integrasi horisontal sekaligus integrasi vertikal yang dijalankan secara bersamaan oleh sebuah grup korporasi media, akan melipatgandakan keuntungan finansial dari praktik bisnis media dan non media. Dua jalur bisnis yang berbeda itu (bisnis media dan non media) akan saling mendukung satu sama lainnya, namun prasyaratnya membutuhkan dukungan modal dan sumber daya manusia yang besar. Implikasi buruknya, adanya keseragaman informasi; sebab industri media massa terkonsentrasi pada sejumlah korporasi media massa. Apalagi kepemilikan saham perusahaan media massa hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Bahkan, kepemilikan dari 14 grup perusahaan media di atas ada yang saling “bersilang”. Misalnya, pemilik Kelompok Kompas Gramedia juga memiliki saham “sekian persen” di CT Group. Menurut saya, ke depan dampak dari persaingan antara 14 grup perusahaan media raksasa nasional di atas akan mengakibatkan keoknya sejumlah grup media; yang memaksa mereka untuk melakukan merger (dengan sesama perusahaan media yang sama-sama merasa terancam atau keok) atau menawarkan diri untuk diakuisisi (oleh perusahaan media massa yang lebih besar), sehingga ke depan semakin mengerucutkan peta penghegemoni industri media massa pada tiga grup (tripoli), atau dua grup (duopoli) saja; bahkan bisa saja menjadi satu grup saja (monopoli) (Supadiyanto, 2013).
Apakah di luar 14 grup korporasi media di atas, masih ada lagi media arus utama lainnya di Indonesia? Tentu masih banyak. Dengan merujuk pada data Dewan Pers dan SPS (2012), di Indonesia paling tidak ada 1.000 media cetak (sukat kabar, majalah, tabloid), 217 stasiun TV lokal, 11 stasiun TV nasional, 16 stasiun TV berlangganan, 11 TV jaringan, ribuan stasiun radio, dan ratusan media online. Artinya para pemain utama media arus utama di Indonesia sudah “cukup berlimpah”. Dengan jumlah wartawan se-Indonesia yang mencapai 100.000 - 125.000 orang (merujuk data dari Ketua Umum PWI Margiono, 2012), tentu saja mengundang tanda tanya besar apakah mungkin dengan jumlah wartawan yang “sekecil” itu mampu meng-coverwilayah Indonesia yang mencapai hampir delapan juta kilometer persegi? Apalagi merujuk data yang pernah dilontarkan oleh Sekjen PWI Hendry Ch. Bangun kepada saya pada akhir tahun 2013, jumlah wartawan Indonesia yang lulus mengikuti Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) baru sekitar 5.000 orang. Artinya, jumlah wartawan profesional yang ada di Indonesia masih sangat kecil. Maka logislah, mengapa kualitas konten (materi) yang disajikan oleh berbagai media massa arus utama masih layak dipertanyakan. Belum lagi menyoal masalah masih rendahnya gaji bulanan yang diperoleh sebagian besar wartawan di Indonesia.
Data penelitian yang pernah dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2011, berikut ini disajikan daftar gaji bulanan yang diperoleh para jurnalis berbagai media massa di kawasan Jakarta. Gaji jurnalis Harian Ekonomi Bisnis Indonesia mencapai Rp 4.979.280; Harian Kompas Rp 5.500.000; Tabloid Kontan Rp 3.700.000; Harian Republika Rp 2.300.000; Harian Jurnal Nasional Rp 2.500.000; LKBN Antara Rp 2.700.000; Harian Seputar Indonesia Rp 2.250.000; Koran Tempo Rp 2.700.000; Harian Indopos Rp 3.300.000; Harian Pos Kota Rp 1.700.000; Harian Berita Kota Rp 2.800.000; Harian Warta Kota Rp 2.700.000; Harian Jakarta Globe Rp 5.500.000; Harian Rakyat Merdeka Rp 2.000.000; Harian Sinar Harapan Rp 2.000.000; Majalah Swa Rp 2.696.990; Majalah Gatra Rp 2.500.000; TPI/MNCTV Rp 2.400.000; Trans TV Rp 2.500.000; SCTV Rp 2.500.000; DAAI TV Rp 2.480.000; Radio KBR 68H Rp 3.300.000; I Radio Rp 2.400.000; Radio Sonora FM Rp 3.300.000; Hukumonline.com Rp 1.600.000; Kompas.com Rp 2.700.000; Detik.com Rp 2.400.000; Vivanews.com Rp 2.600.000; Okezone.com Rp 2.300.000; TV One Rp 3.500.000. Jika dibandingkan dengan perolehan gaji jurnalis yang bekerja di daerah, tentu angkanya jauh dari nominal di atas. Bahkan angkanya masih banyak yang berada di bawah Upah Minimum Regional (UMR), namun hingga kini belum ada data rujukan yang resmi bisa dijadikan sandaran (Manan, 2011).
Ada fakta menarik bahwa industri media massa sedunia saat ini masih hanya dikuasai oleh enam perusahaan media massa milik Yahudi. Perusahaan raksasa media massa tersebut adalah Vivende Universal, AOL Time Warner, The Walt Disney Corporation, Bertelsmann AG, Viacom, dan News Corporation. Enam konglomerasi media massa dunia tersebut menguasai 96 persen pasar media dunia (Ramdan, Anton A. 2009). Para konglomerat (orang-orang terkaya sedunia) media dunia berkepentingan menguasai industri media massa di dunia, di samping untuk mengeruk keuntungan (misi materi-ekonomi); juga sekaligus dalam rangka menyebarkan pengaruhnya (misi politik-ideologi). Jadi ada hubungan yang sangat kuat, mengapa para konglomerat dunia berangkat dari bisnis media massa dan mereka sebagian besar adalah para Yahudi (Supadiyanto, 2014).
Penemuan (teknologi) Internet oleh Advanced Research Project Agency Network (ARPANET) yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969, yang kemudian mencetuskan Vint Cerf sebagai “Bapak Internet”, menjadi inovasi besar bagi peradaban manusia (Rosmawaty, 2010). Namun bersandarkan data lain di: http://id.wikipedia.org/wiki/Leonard_Kleinrock, bukan Vint Cerf yang dinobatkan sebagai “Bapak Internet”, melainkan Leonard Kleinrock (profesor ilmu komputer di UCLA Henry Samueli Sekolah Teknik dan Sains di Amerika Serikat sekaligus salah satu pelopor jaringan komunikasi digital, dan membantu membangun ARPANET) yang melahirkan teori pertukaran paket (1959) dan teori pertukaran paket dalam kaitannya dengan paket teknologi yang merupakan cikal bakal (teknologi) Internet (1961). Dalam perjalanannya, Internet menjadi teknologi canggih yang menyempurnakan berbagai teknologi pendahulu seperti penemuan kertas oleh Ts’ai Lun pada tahun 105, atau penemuan mesin cetak oleh Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg pada tahun 1450 serta penemuan radio oleh Guglielmo Marconi pada tahun 1874 dan penemuan televisi oleh John L. Baird pada tahun 1926. Bersinggungan dengan itu, Marshall McLuhan (1964), tokoh komunikasi-sosiologi dari Kanada terinspirasi melahirkan konsep desa global (global village), yang dalam realisasinya sekarang menjadi realitas sosial bernama globalisasi.
Pertumbuhan jumlah pengguna Internet di Indonesia juga terbilang fantastis selama Orde Reformasi ini. Berdasarkan data Internet World Stat Web Directory (1998-1999) serta Badan Pusat Statistik/BPS dan Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia/APJII (2013), jumlah pertumbuhan pengguna Internet sejak Juli 1998 sebanyak 790.000 pemakai); namun pada Desember 2013 sebanyak 71.190.000 pemakai. Artinya, dalam jangka waktu 15 tahun, ada lonjakan jumlah pemakai Internet di Indonesia mencapai 70.400.000 orang atau setara 9.011,4 persen. Artinya, rata-rata pertumbuhan jumlah pengguna Internet per tahun sebanyak 4.693.333 orang (atau setara 391.111 orang per bulan).
Sejatinya hadirnya era konvergensi media (bahkan menuju konvergensi multimedia) juga diprakarsai oleh penemuan teknologi Internet tersebut. Penyatuan berbagai jenis industri media massa dalam satu saluran terintegratif; memang pada satu sisi membuat banyak efisiensi dalam pengelolaan industri media massa. Tidak hanya sumber daya modal saja yang dapat ditekan pengeluarannya, melainkan juga dari sisi sumber daya manusia-nya juga dapat dioptimalisasikan fungsinya; tanpa mengurangi keuntungan yang didapatkan oleh perusahaan. Sebab, pada era konvergensi media massa ini, setiap wartawan harus memiliki kemampuan/keterampilan multitalenta dalam mengemas satu produk berita/informasi agar bisa disuplai untuk media cetak, media televisi, media radio, sekaligus mediaonline.
Dengan demikian, di era konvergensi media massa ini, “eksploitasi” terhadap profesi wartawan menjadi hal yang sangat sensitif; sebab setiap wartawan semakin dituntut untuk bekerja lebih keras lagi dalam menghasilkan berbagai karya jurnalistik yang bermutu; atau sesuai dengan selera audiens. Keberadaan media online (dengan kata kuncinya Internet) yang terus menggeser eksistensi media cetak saat ini, membuat para pengusaha media cetak sejak tahun 2000-an mulai membuat kanal-kanal online; sebagai bentuk antisipasi agar media cetak yang dimilikinya tetap eksis di tengah kompetisi media cetak yang terus menghebat. Jadi, di samping memiliki media cetak, saat ini setiap perusahaan media cetak juga memiliki situs online, bahkan sejumlah perusahaan media cetak juga menerbitkan versi koran digital (electronic paper).
Bukan itu saja, penyatuan berbagai jenis media (media cetak, media digital, media online, media radio, dan media televisi) dalam satu atap perusahaan; atau bahkan dalam satu layar (monitor) laptop/komputer; membuktikan bahwa integrasi berbagai jenis media massa di atas semakin mengokohkan jaringan korporasi media massa. Akibatnya, ada penyeragaman informasi yang ditayangkan oleh satu grup jaringan perusahaan media massa. Publik terpaksa mendapatkan informasi yang serba seragam. Pada aspek lain, hal itu membuat terkonsentrasinya kekayaan para pemilik modal perusahaan media massa di Indonesia.
Buktinya, Majalah Globe Asia, Juni 2013 merilis 150 orang terkaya se-Indonesia, di mana 14 kkonglomerat di antaranya terlibat dalam bisnis di bidang media massa. Mereka adalah: Aburizal Bakrie, Bakrie Group, USD 2,45 milyar (terkaya ke-6), Mochtar Riady, Lippo Group, USD 2,15 milyar (terkaya ke-9), Chairul Tanjung, CT Corp, USD 2,05 milyar (terkaya ke-12), Hary Tanoesoedibjo, MNC Group, USD 1,7 milyar (terkaya ke-17), Ciputra, Ciputra Group, USD 1,375 milyar (terkaya ke-23), Kartini Muljadi & Handojo Slamet Muljadi, Tempo Group, USD 1,37 milyar (terkaya ke-24), Jakob Oetama, Kompas-Gramedia Group, USD 1,3 milyar (terkaya ke-26), Eddy Sariaatmadja & Fofo Sariaatmadja, SCTV, USD 1,1 milyar (terkaya ke-35), Surya Dharma Paloh, Media Group, USD 387 juta (terkaya ke-91), Dahlan Iskan, Jawa Pos Group, USD 370 juta (terkaya ke-93), Sukamdani Sahid & Gitosardjono, Sahid Group, USD 367 juta (terkaya ke-94), Benny Suherman, Studio 21 Group, USD 285 juta (terkaya ke-108), Jacobus Busono, Pura Group, USD 105 juta (terkaya ke-144), Raam Punjabi, Multivision Plus, USD 101 juta (terkaya ke-145).
Bagaimana nasib media online di era konvergensi media massa saat ini? Tentu saja jawabannya sangat prospektif. Hal itu mengingat berbagai keunggulan yang dimiliki oleh media online. Bahkan kini kini jurnalisme online menjadi babak baru dalam dunia jurnalisme. Teknologi kertas semakin terdepak oleh teknologi Internet. Berbagai perusahaan media cetak gulung tikar, entah di dalam negeri maupun luar negeri. Lantas mereka mengalihkannya bisnisnya ke media online. Karena dinilai lebih cepat, ramah lingkungan serta hemat. Implikasinya, kejayaan surat kabar dan media lain berbasis kertas semakin tergeser oleh keberadaan media online berbasis internet. Dan terbukti, kini internet telah menyulap industri konvensional, menjadi industri berbasis digital. Salah satunya industri media massa. Hingga kini media massa tetap diyakini sebagai alat paling ampuh dalam mempengaruhi opini publik. Industri media cetak, media elektronik serta media online yang terus berkembang pesat dewasa ini, menegaskan bisnis media massa merupakan bisnis yang banyak digemari pengusaha. Trennya sekarang, ekspansi media massa konvensional menuju media online berbasiskan internet semakin semarak.
Keunggulan media online yang jauh lebih unggul dalam kecepatan menayangkan, kontennya lebih bervariatif dan berdaya jangkau luas, dapat diakses seluruh audiens di seluruh dunia, dan secara ekonomi sangat murah, menjadikan banyak manajemen perusahaan media cetak mengubah formatnya menjadi media online. Seiring itu, profesi jurnalis online menjadi sangat prospektif, secara kalkulasi ekonomi maupun idealisme. Apalagi kini setiap orang bisa menjadi jurnalis online. Istilah populernya, setiap orang bisa menjadi pewarta warga (citizen journalism). Dengan menjadi jurnalis online, setiap orang lebih luas dan fleksibel dalam melakukan berbagai kegiatan reportase. Akhirnya kompetisi antara media online menjadi sebuah keharusan yang tak bisa terhindarkan lagi. Hanya media-media online yang didukung dengan manajemen redaksional dan manajemen korporasional yang profesional, akhirnya menjadi pemenang di tengah sengitnya industri media massa cetak, elektronik dan online (Supadiyanto, 2012).
Dengan mengingat peta/lanskap industri media massa di Indonesia hingga kini masih dikuasai oleh 14 korporasi swasta-nasional saja, sehingga menimbulkan penyeragaman informasi. Memang informasi yang seragam bisa membuat kekompakan; namun di balik itu sangat membahayakan masa depan demokrasi. Sebab publik tidak mendapatkan alternatif-alternatif informasi lain yang beragam. Dalam dunia komunikasi, tidak berlaku bahwa kebenaran itu tunggal. Bertolak belakang dengan ilmu eksakta, di mana kebenaran itu tunggal. Kebenaran itu bernilai ganda (jamak). Karena dalam ilmu sosial berlaku minimal tiga paradigma kebenaran. Paradigma kebenaran kuantitatif (positivistik), paradigma kualitatif (postpositivistik), dan paradigma kritis (interpretatif). Dan media massa memainkan peran tiga paradigma di atas secara proporsional. Karena dalam dunia komunikasi menganut faham bahwa kebenaran itu tidak tunggal; maka dibutuhkan kecerdasan dari audiens (pembaca, pemirsa, pendengar) untuk mengkritisi setiap produk berita/informasi yang disajikan oleh berbagai media massa arus utama yang cenderung menjadikan orientasi bisnis-pasar dan politik-kekuasaan sebagai tujuan utama dari pendirian berbagai perusahaan media massa. Setiap audiens harus memiliki daya literasi bermedia secara ketat dalam mengawasi konten-konten yang disajikan oleh setiap perusahaan media massa. Tidak peduli media massa itu milik negara maupun milik swasta, sama saja. Semuanya harus dikritisi dengan cerdas. Publik jangan sampai menelan mentah-mentah semua produk berita/informasi yang disuguhkan oleh berbagai perusahaan komersial media massa tersebut. Tanpa memiliki daya kritisi, dan literasi terhadap media massa di atas; publik sekadar menjadi target pasar yang dijadikan bahan komodifikasi berbagai perusahaan media massa untuk meraup keuntungan berupa pendapatan iklan (khusus untuk media cetak sekaligus media elektronik) dan pendapatan sirkulasi/tiras (khusus untuk media cetak).
Kegiatan literasi media bisa dimunculkan melalui kegiatan jurnalisme warga. Sebab aktivitas ala jurnalis tersebut, membuat setiap orang menjadi berdaya (bukan diperdayai) dalam merespons berbagai informasi yang bertebaran di tengah masyarakat. Penetrasi teknologi Internet yang semakin merata di berbagai daerah di Indonesia, menjadi kata kunci untuk menggolkan aktivitas jurnalisme warga.
Sebab dengan mengandalkan teknologi Internet tersebut mampu mengatasi kendala ruang dan waktu. Hal itu mengingat teknologi Internet memiliki kemampuan “spasialisasi” (menembus ruang dan waktu). Untuk itulah eksistensi pewarta warga menjadi urgentif dan strategis. Jangan sampai keberadaan para pewarta warga ini bagaikan bola liar yang tidak memiliki wadah legal-formal. Mereka harus diikat kuat melalui organisasi kepewartawargaan, terutama melalui Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) yang sudah berdiri sejak 11 November 2007–silam. Semoga bermanfaat!

Sumber: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2014/02/20/lanskap-industri-media-massa-arus-utama-dan-media-online-633397.html









Newsweek untuk menutup edisi cetak dan pergi semua digital
31 Desember akan menandai edisi cetak terakhir untuk majalah berita karena membuat lompatan ke format serba digital.




Setelah bertugas 80 tahun, Newsweek yang membatalkan publikasi cetak dan akan pergi semua digital datang 2013.
Berita ini diturunkan hari ini di Daily Beast, situs berita online yang bergabung dengan Newsweek pada tahun 2010 Daily Beast dan Newsweek Editor Tina Brown dan Baba Shetty, CEO dari perusahaan gabungan, mengatakan bahwa edisi 31 Desember akan diprint lalu majalah versi.
Dikenal sebagai Newsweek Global, edisi digital yang baru akan menyediakan berita dan informasi pada skala dunia. Akses ke Newsweek global akan tersedia melalui berlangganan dibayar untuk kedua Web dan tabletusers. Konten tertentu juga akan tampil di situs Daily Beast.
Dihadapkan dengan penjualan berkurang cetak, banyak majalah telah berubah ke digital. Namun dampaknya tampaknya memukul lebih keras saat publikasi seperti Newsweek membuat saklar. Seiring dengan waktu, Newsweek telah menjadi salah satu majalah berita inti bangsa, gracing newsstands sejak tahun 1933.
Dalam menjelaskan keputusan untuk mengubah digital, Brown dan Shetty mengutip sebuah studi Pew baru-baru ini, yang mengatakan bahwa 39 persen orang Amerika menemukan berita mereka secara online, naik dari 33 persen dua tahun lalu. Sejalan dengan tren itu, Daily Beast sekarang membawa lebih dari 15 juta pengunjung unik setiap bulan, lonjakan 20 persen dalam setahun terakhir.
Brown dan Shetty tidak mengungkapkan angka pembaca untuk edisi cetak Newsweek. Tapi masuknya Newsweek di Wikipedia dikutip penurunan sirkulasi di seluruh dunia dari 4 juta pada tahun 2003 menjadi hanya 1,5 juta pada tahun 2010 CNN melaporkan sirkulasi dibayar hanya 1,2 juta selama 12 bulan terakhir.
Mereka mengakui bisnis yang telah dipengaruhi oleh tantangan di pasar iklan cetak. Pendapatan Newsweek dari iklan cetak turun $ 334.000.000, atau 70 persen, 2007-2011, CNN mencatat. Pada saat yang sama, edisi online dan mobile Newsweek ini telah mengklaim pembaca lebih tinggi, terutama di kalangan pengguna tablet.
"Dalam penilaian kami, kami telah mencapai titik kritis di mana kita dapat paling efisien dan efektif mencapai pembaca kami dalam semua-digital format" kata Brown dan Shetty.
cerita terkait
• Pew studi Berita konsumsi up via perangkat selular, media sosial
• Tablet membawa pada akhir cetak?
• New York Times memperkenalkan aplikasi Web untuk iPad
Pindah ke semua digital juga akan menyebabkan beberapa PHK staf dan pemotongan lain di seluruh dunia.
"Newsweek diproduksi oleh tim berbakat dan tak kenal lelah dari para profesional yang telah menawarkan pekerjaan brilian secara konsisten di seluruh periode sulit transisi kepemilikan dan media gangguan," kata Brown dan Shetty. "Sayangnya kami mengantisipasi pengurangan staf dan perampingan editorial dan operasional bisnis kami baik di sini di Amerika Serikat dan internasional."
Keduanya juga mengungkapkan catatan kesedihan hilangnya publikasi cetak, tapi jelas melihat digital sebagai jalan ke depan.
"Keluar cetak merupakan momen yang sangat sulit bagi kita semua yang mencintai romansa cetak dan persahabatan mingguan unik dari jam-jam sibuk sebelum penutupan pada Jumat malam," kata mereka. "Tapi seperti yang kita kepala untuk ulang tahun ke-80 Newsweek tahun depan kita harus mempertahankan jurnalisme yang memberikan majalah tujuan - dan merangkul masa depan serba digital."

Majalah Newsweek edisi cetak relaunches
Oleh Puneet Pal SinghBusiness reporter, BBC News, New York
  Newsweek telah diluncurkan edisi cetak dengan cerita kontroversial penemu Bitcoin
Lanjutkan membaca cerita utama
Berita Terkait
• Newsweek dijual ke perusahaan berita digital
• Newsweek untuk menghentikan edisi cetak
• Dalam gambar: Newsweek penutup depan
Urusan majalah Newsweek saat ini telah diluncurkan kembali edisi cetaknya.
Langkah ini dilakukan hanya beberapa bulan setelah majalah AS dibeli oleh perusahaan berita digital IBT Media.
Newsweek edisi cetak dihentikan pada bulan Desember 2012 setelah 80 tahun, di tengah pendapatan iklan jatuh sebagai pembaca bergerak menuju publikasi online.
Namun, pemilik baru mengatakan mereka telah bekerja di luar model bisnis yang tidak bergantung pada pendapatan iklan.
Etienne Uzac, co-founder dan chief executive dari IBT Media, mengatakan perusahaan bertujuan untuk menghasilkan sebanyak 90% dari pendapatan untuk edisi cetaknya dari pendapatan langganan.
Ini telah menempatkan harga premium pada edisi cetak, yang akan dijual sebesar $ 8 (£ 5) per copy di Amerika Serikat, untuk memastikan profitabilitas.
'Berkah Campuran'
Mr Uzac mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir, pendapatan iklan di majalah cetak turun jauh lebih banyak daripada sirkulasi mereka.
Dia mengatakan ini adalah alasan utama mengapa banyak majalah, yang secara tradisional bergantung pada pendapatan iklan, menghadapi kesulitan dalam mempertahankan operasi mereka.
"Mereka memiliki harga berlangganan yang rendah, tetapi mereka masih harus memproduksi dan mendistribusikan salinan tersebut secara mingguan, dan bahwa biaya banyak uang," katanya.
Lanjutkan membaca cerita utama
"Mulai Penawaran
Kami tidak akan setelah nomor basis pembaca jutaan bahwa pesaing kami akan setelah. Kami akan untuk lebih premium dan basis pengguna yang menguntungkan "
Etienne UzacIBT Media
"Untungnya, mereka memiliki iklan uang di sana untuk mendukungnya.
"Sekarang uang - tidak semuanya, tapi banyak itu -. Hilang, tetapi mereka masih memiliki model harga yang sama saya pikir itu adalah masalah."
Dia mengatakan bahwa Newsweek menghentikan penerbitan edisi cetak pada tahun 2012 dalam "beberapa hal berkat campuran" yang dapat membantu menghindari tekanan.
"Kami mampu untuk datang kembali dan menemukan kembali pengalaman cetak Newsweek dari bawah ke atas," katanya.
"Kami tidak akan setelah nomor basis jutaan pembaca bahwa pesaing kami akan setelah. Kami akan untuk lebih premium dan basis pengguna yang menguntungkan.
"Sulit bagi orang lain untuk keluar dari tempat mereka, karena mereka memiliki pelanggan yang lima tahun atau 10 tahun pada file. Anda tidak dapat melakukan apa-apa tentang itu."
Melengkapi digital?
Edisi pertama Newsweek diterbitkan pada 17 Februari 1933.
Pada puncaknya, itu memiliki sirkulasi tiga juta. Tapi, seperti banyak dari rekan-rekan, penurunan pembaca dan pendapatan iklan menyebabkan kerugian besar dalam beberapa tahun terakhir.
Majalah ini dijual oleh mantan pemilik Washington Post sebesar $ 1 sampai US pengusaha Sidney Harman pada tahun 2010.
Saat itu bergabung dengan majalah web Mr Harman, para Daily Beast, sebelum dijual ke IBT tahun lalu untuk jumlah yang tidak diungkapkan.
Langkah untuk meluncurkan edisi cetak yang datang sebagai kejutan, paling tidak karena IBT secara tradisional telah menjadi perusahaan media digital.
Namun, beberapa pengamat industri menunjukkan bahwa sementara pendapatan iklan digital telah meningkat, mereka tidak tumbuh secepat yang diharapkan perusahaan dan sebagai hasilnya ada yang sekarang mencari untuk menawarkan edisi cetak untuk menarik lebih banyak pengiklan.
"Iklan Digital baru saja tidak datang dekat dengan kompensasi untuk apa berita majalah mirip dengan surat kabar telah kehilangan," kata Bill Grueskin, dekan urusan akademis di Columbia University Graduate School of Journalism.
"Masih ada beberapa nilai dalam iklan mengkilap cetak."
Dia menambahkan bahwa jika edisi cetak Newsweek dapat "mulai mendapatkan beberapa traksi pada itu, dapat sukses sederhana".
Mr Uzac mengakui bahwa menarik pengiklan potensial adalah salah satu faktor kunci di balik langkah untuk me-restart edisi cetak.
"Kami pasti bisa biaya lebih untuk produk cetak, kami merasa, daripada online," katanya.
"Kami berpikir bahwa ada uang yang akan dibuat di cetak dari berlangganan dan, ya, ada uang yang akan dibuat di sisi iklan."

http://www.bbc.com/news/business-26460261 (Bersambung)



No comments:

Post a Comment