!-- Javascript Ad Tag: 6454 -->

Tuesday, September 10, 2013

Wakil Penasihat Keamanan Nasional Amerika, Ben Rhodes, mengatakan bahwa Washington tak akan mengendurkan tekanan ke Damaskus



Wakil Penasihat Keamanan Nasional Amerika, Ben Rhodes, mengatakan bahwa Washington tak akan mengendurkan tekanan ke Damaskus



Iran mendukung rencana Rusia agar Suriah memberi izin pengawasan internasional terhadap senjata kimia di negeri itu. Secara rinci, tulis AP pada Selasa (10/9/2013), proposal itu juga mengarah pada penghancuran senjata kimia milik Suriah. Demikian kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran di Tehran Marzieh Afkham.


"Iran mendukung inisiatif Rusia untuk mengakhiri rencana militerisasi wilayah Suriah dan sekitarnya," kata Marzieh Afkham.

Menurut Afkham lebih lanjut, Iran ikut menentang penggunaan senjata kimia. "Kami berharap, Timur Tengah bebas dari senjata kimia," tuturnya.

Sebelumnya, Moskwa, Senin, mengumumkan inisiatif untuk mendorong Suriah memberikan izin pengawasan internasional terhadap senjata kimia di negara tersebut. Menurut Rusia, langkah ini dapat mencegah aksi militer yang tengah digalang dukungannya oleh Amerika Serikat.

Wakil Penasihat Keamanan Nasional Amerika, Ben Rhodes, mengatakan kepada MSNBC bahwa Washington tak akan mengendurkan tekanan ke Damaskus, meski ada usul baru dari Rusia itu. "Kami dan negara lain harus menilai keseriusan proposal (Rusia) ini. (Namun) pada saat yang sama, sangat penting bagi kami untuk tidak mengurangi tekanan (ke Suriah)," tegas dia.

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengirimkan surat kepada hampir seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, Presiden Suriah Bashar Al-Assad, dan para pemimpin dunia terkait penyelesaian konflik di Suriah. Presiden ingin tidak ada serangan militer ke Suriah.

"Itulah diplomasi all out kita. Tentu kita tidak bisa mengatur dunia, tapi kita berikan pandangan," kata Presiden saat rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (10/9/2013).

Sebelumnya, masalah Suriah dibahas dalam pertemuan KTT G-20 di Rusia pekan lalu. Sikap para pemimpin dunia terpecah dalam dua arus utama terkait penyelesaian konflik Suriah.

Pertama, menginginkan penggunaan kekuatan miter untuk menindak pemerintah Suriah yang diduga menggunakan senjata kimia. Serangan itu dilakukan dengan atau tanpa mantan PBB.
Pandangan kedua, tindakan terhadap Suriah harus atas dasar mandat PBB.

 "Di situ relatif tegang. Saya sampaikan pandangan saya tidak ke ekstrem satu atau yang lain. Harus ada respon masyarakat internasional, tidak harus melakukan serangan militer, tapi semacam gencatan senjata. Diawasi PBB, selanjutnya proses politik yang inklusif, demokratis, dan transparan berdasarkan keinginan rakyat Suriah," kata Presiden.

Presiden mengatakan, awalnya tidak ada dukungan terkait pandangannya itu. Namun, dalam tiga hari terakhir, kata dia, terlihat kemungkinan serangan militer tidak dilakukan setelah semua pihak memikirkan dampaknya.

Jika nantinya opsi gencatan senjata diambil, tambah Presiden, Indonesia siap membantu mengirimkan pasukan perdamaian ke Suriah di bawah bendera PBB. Presiden meminta Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk terus memantau perkembangan terkait Suriah.

Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengaku sebelumnya sudah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tentang rencana baru yang diajukan Rusia untuk solusi Suriah.

Rusia mengajukan usul sebagai solusi masalah Suriah, berupa permintaan kepada Suriah untuk membuka akses pengawasan senjata kimia oleh kalangan internasional. Suriah telah menyambut ide tersebut, Senin (9/9/2013), sebagai upaya mencegah aksi militer Amerika ke Suriah.

Namun, usulan yang diajukan Rusia ditanggapi santai oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Sekjen PBB pun tak terlalu antusias dengan usul yang diajukan Rusia itu.

Kepada "NewsHour" di PBS, Obama mengatakan, ia dan Putin tidak membahas usul tersebut ketika keduanya bertemu di hajatan G-20 yang berlangsung di Rusia, pekan lalu. Menurut Obama, pembahasan soal usul baru Rusia digelar dadakan pada Jumat (6/9/2013).

Obama mengatakan, percakapan kedua pemimpin negara tersebut berlangsung selama 20 menit. Menurut dia, percakapan itu merupakan bagian dari pembicaraan lanjutan tentang upaya mengamankan senjata kimia Suriah.

 The Human Rights Watch (HRW) dalam catatan investigasinya mengatakan kuat dugaan korban tewas pada serangan di Damaskus, Suriah, 21 Agustus 2013, terkena gas beracun.


Menurut warta AP pada Selasa (10/9/2013), HRW merilis laporannya itu di New York, AS. "Kami sampai pada kesimpulan seusai menganalisis jumlah saksi mata, informasi dari sumber-sumber penerangan, penggunaan senjata hingga rekam medis para korban," kata HRW.

Sementara itu, pihak AS mengatakan bahwa pasukan Pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia dalam penyerangan tersebut di atas. Alhasil, masih menurut AS, jumlah korban tewas mencapai 1.400 orang.

No comments:

Post a Comment